KASUS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Jumat, 12 September 2008
1. DENPASAR,Kompas.com — Malang benar nasib Ketut Deni Aryasa, perajin perak asal Bali. Ia dituding menjiplak salah satu motif perusahaan perak milik asing, PT Karya Tangan Indah. Deni Aryasa bahkan telah diseret ke meja hijau dan dituntut dua tahun penjara. “Motif yang saya gunakan ini adalah milik kolektif masyarakat di Bali, yang sudah ada sejak dulu. Bukan milik perseorangan, tapi mengapa bisa dipatenkan pihak asing,” kata Deni Aryasa, yang ditemui di rumahnya di Denpasar, Jumat (12/9). Deni Aryasa dituding meniru dan menyebarluaskan motif fleur atau bunga. Padahal motif ini adalah salah satu motif tradisional Bali yang kaya akan makna. Motif serupa dapat ditemui di hampir seluruh ornamen seni di Bali, seperti gapura rumah, ukiran-ukiran Bali, bahkan dapatditemui sebagaimotif padasanggah atau tempat persembahyangan umat Hindu di Bali. Ironisnya, motif tradisional Bali ini ternyata dipatenkan pihak asing di Direktorat Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Republik Indonesia pada tahun 2006 dengan nomor 030376. Pada surat keputusan Ditjen Haki, tertulis pencipta motif fleur adalah Guy Rainier Gabriel Bedarida, warga Prancis yang bermukim di Bali. Sedangkan pemegang hak cipta adalah PT Karya Tangan Indah milik pengusaha asal Kanada, John Hardy. Dengan tudingan melanggar hak cipta, Deni Aryasa kini dituntut dua tahun penjara. Bahkan Deni sempat ditahan selama 40 hari di LP Kerobokan Bali. Kini Deni menjalani tahanan rumah. “Saya mungkin satu-satunya orang yang dituntut melanggar hak cipta yang pernah ditahan selama 40 hari,” kata Deni Aryasa.
Peradilan kasus hak cipta ini akan dilanjutkan pada Rabu (17/9) mendatang di Pengadilan Negeri Denpasar dengan agenda pledoi atau tanggapan terhadap tuntutan jaksa. Motif fleur ini juga telah dipatenkan di Amerika Serikat, sehingga kini perajin perak di Bali yang menggunakan motif yang sama pun terancam ikut terjerat pelanggaran hak cipta. Asosiasi Perajin Perak mencatat terdapat sedikitnya 800 motif perak tradisional Bali yang telah dipatenkan pihak asing di Amerika Serikat.
2. JAKARTA, KOMPAS.com - Plagiarisme, mencontek, mencuri, atau menggunakan karya orang lain tanpa izin semakin marak dilakukan, khususnya dalam pembuatan skripsi di kalangan mahasiswa. Maraknya plagiat skripsi sebenarnya bisa disiasati atau bahkan ditekan dengan cara memberikan pemahaman dan sosialisasi mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) secara mendalam dan khusus
“Kebanyakan perguruan tinggi mulai longgar pengawasannya. Jangan kaget, skripsi dibuatkan oleh lembaga lain, tidak merupakan karya mahasiswa sendiri, itu merupakan hal umum”
-- Donny A Sheyoputr
Donny A. Sheyoputra, Manager Business Software Alliance (BSA) Indonesia, menyayangkan longgarnya pengawasan perguruan tinggi dalam mengawasi praktek plagiarisme. Untuk itu, perguruan tinggi perlu menyiasati kelonggaran tersebut dengan memasukkan secara khusus kurikulum HaKI pada setiap program studi (prodi).
"Kenapa HaKI tidak dijadikan mata kuliah HaKI di semua prodi di semua fakultas, ini supaya semua sadar. Sayangnya, kebanyakan perguruan tinggi sudah mulai longgar pengawasannya untuk hal-hal demikian. Jangan kaget, skripsi dibuatkan oleh lembaga lain, tidak merupakan karya mahasiswa itu sendiri, itu sudah merupakan hal yang umum. Pemberian kurikulum HaKI harus digalakkan dan lebih banyak lagi," ujar Donny, saat menjadi pembicara talk show bertema "Pemanfaatan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) melalui Pemuda", Kamis (5/5/2011), di Universitas Esa Unggul, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Donny menjelaskan, mulai sejak dini mata kuliah HaKI seyogianya lebih intensif digalakkan. Hanya, kurikulumnya tidak bersifat teori karena akan membuat mahasiswa menjadi bosan. Ia menyarakankan, perguruan tinggi harus sering menghadirkan praktisi-praktisi yang memberikan pengalamannya agar para mahasiswa semakin "melek" dan terbuka pikirannya.
"Karena plagiarisme jelas berhubungan dengan pendidikan karakter yang memiliki peran penting dalam menentukan arah perjalanan bangsa. Inilah yang hendaknya disadari oleh mahasiswa, selain berkaitan dengan karakter kebangsaan, semua ini juga ada aspek hukumnya," ujar Donny.
"Ancaman pidananya diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, pasal 72, maksimal tujuh tahun penjara dan minimal satu bulan penjara. Ancaman denda, bisa mencapai Rp 1 miliar, minimalnya Rp 10 juta," ujar Donny.
Editor : Latief
3. Pembajakan Musik Bunuh Kreativitas Anak Bangsa
Dewi Widya Ningrum – detikinet
Jakarta – Pembajakan di bidang musik dan lagu makin memprihatinkan, terlebih saat ini semakin mudah mendistribusikan lagu lewat internet. Bahkan penegakan hukum UU Hak Cipta (HaKI) masih jauh dari yang diharapkan. Di lain sisi, setiap pemilik hak cipta berhak mendapatkan perlindungan untuk setiap karyanya.
Persoalan inilah yang coba diangkat menjadi bahan perbincangan hangat dalam diskusi “Pelanggaran Hak Cipta dan Penyebarluasan Musik MP3 melalui Internet” di Gedung AHU Departemen Hukum dan HAM, Jumat (25/4/2008).
Hadir dalam diskusi tersebut, Ketua Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI), Dharma Oratmangun. Menurutnya, tata niaga industri musik di Indonesia sudah sangat primitif. “Bayangkan saja, lagu seorang kepala negara saja yaitu Presiden Bambang Susilo Yudhoyono (SBY) tidak bisa dijaga oleh institusi hukum. Bagaimana dengan yang lain?” jelas Dharma memberikan contoh.
Mewakili PAPPRI, Dharma mengaku sudah mengadakan pertemuan dengan SBY dan membicarakan masalah pembajakan musik ini. SBY sendiri, lanjut Dharma, sangat concern dengan kasus pembajakan musik dan sudah memerintahkan PAPPRI untuk melakukan kajian-kajian mengenai masalah ini, termasuk tentang UU HaKI.
PAPPRI juga mendesak agar pemerintah mengatur dan segera melakukan restrukturisasi tata niaga industri musik di Indonesia. Pasalnya, ada beberapa kalangan industri musik yang tidak mau transparan dalam pemberian royalti. Hal ini dikarenakan sistem kontrolnya tidak jalan.
“Parahnya lagi, ada industri yang tidak mau dikontrol. Padahal jelas-jelas mereka juga dirugikan. Kalau begini terus, lama-lama industri musik bisa mati,” ujarnya.
Kerugian terbesar yang ditimbulkan dalam pembajakan musik, menurut Dharma, adalah matinya budaya kreativitas dalam industri musik Indonesia yang tidak bisa diukur nilainya.( dwn / dwn )
Sources: https://primatamaputra.wordpress.com/2012/04/29/kasus-hak-kekayaan-intelektual/
http://galihprikitiw.blogspot.com/2013/06/contoh-kasus-haki-hak-kekayaan.html
https://ovantaxphoapomeamey9492.wordpress.com/2013/04/26/haki-dan-contoh-kasusnya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar